Tuesday, May 15, 2012

Asal Mula Tari Pat'tuddu (Tarian Khas Mandar)

Sulawesi Barat atau disingkat Sul-Bar termasuk provinsi yang masih tergolong baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober ini sebagian besar dihuni oleh suku Mandar (49,15%) dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri.
Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan /pagar ayu/ atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu. Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.
Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, ?Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,? sehingga tari Patuddu cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.
Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya. Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini! 
** * ** *
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya. Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. ?Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!? setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
 
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ?Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,? gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ?Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,? pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam. 
 
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. ?Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!? seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
"Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?" tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.
"Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang, "jawab Bidadari Bungsu.
"Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga," kata Anak Raja seraya bertanya, "Maukah kamu menjadi istriku?"
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ?Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!? 
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.
* * * 
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini. 
Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.
Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal. 
(sumber asli http://ceritarakyatnusantara.com )

Mandar Dalam Perspektif Kesejarahan

Mandar Dalam Perspektif Kesejarahan, Budaya Mandar Lama, Tradisi Suku Mandar, Sejarah Mandar
Mandar Dalam Perspektif Kesejarahan
Pengantar :

Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.

Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.

Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

Latar Kesejarahan

Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu‘ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.

Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.

Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.

Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.

Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentang di negerinya. Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todatodang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan dinapo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. proses pemelihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.

Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka, itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tamenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.

Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar‘ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).

Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.

Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de faktor setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghini wilayah iti, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.

Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malute Tasi, Kelompok Ajataparang, dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).

Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasrkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.

Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.

Tinjauan Akhir

Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.

Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengeban nama Mandar.

Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.

Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.

Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.

Oleh : Edward L. Poelinggomang

Artikel diambil dari Kumpulan Makalah Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar

Mandar Dalam Perspektif Lontara Mandar

I. PENDAHULUAN
Kata atau istilah Mandar dalam lontar Mandar, teramat banyak ditemukan dalam arti dan kepentingan yang berbeda-beda, namun tidaklah semua arti dan kepentingan yang berbeda-beda tersebut masuk kriteria yang dimaksud dalan judul diatas, melainkan yang dimaksud adalah bahagian-bahagian terpenting sehubungan dengan hakekat keberadaan Mandar itu sendiri, terutama apa itu Mandar dan hubungannya dengan kehidupan manusia yang berpredikat orang Mandar.
Menurut Panitia Pelaksana Seminar Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa dalam suratnya pada Penulis, konon ada kehendak dari salah satu tokoh Masyarakat Polmas untuk mengganti nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Mandar?
Berhubung lahirnya kehendak diataslah yang menjadi cikal bakal dipilihnya judul di atas untuk dibahas dalam suatu seminar sehari, guna mengetahui secara pasti berdasarkan sejarah Mandar, apakah mungkin bisa, layak dan sesuai nama/istilah Mandar dijadikan pengganti nama kabupaten Polewali Mamasa,atau ada nama lain yang lebih layak digunakan untuk jadi nama pengganti Kabupaten Polmas tersebut.
Untuk mendeteksi layak atau tidaknya istilah Mandar tersebutdigunakan sebagai pengganti nama Kabupaten Polmas, kita wajib melihat dengan teliti, seksama dan penuh pengertian secara logika berdasarkan kejujuran intelektual tentang existensi dan keadaan logis keduanya, yakni Mandar dan Polewali Mamasa.
Berikut ini Penulis akan berusaha sebatas kemampuan, teramat minim yang penulis miliki, untuk membahas Mandar dalam pandangan budaya Mandar agar jelas bagi kita tentang layak tidaknya istilah Mandar dijadikan nama pengganti Kabupaten Polmas, sebagai berikut :
Sebelum penulis berusaha membahas tentang Mandar dalam pengertian Lontar/Budaya Mandar dan lepas dari layak atau tidak layak istilah Mandar dijadikan pengganti nama Kabupaten Polmas, terlebih dahulu Penulis mengemukakan pendapat pribadi Penulis sehubungan dengan kehendak menggunakan kata/istilah Mandar menjadi nama Kabupaten Polmas, sebagai berikut :
Kehendak ini harus dibicarakan lebih dahulu sesuai dengan prosedur berdasarkan tradisi budaya Mandar, yakni wajib dibicarakan melalui seminar atau kongres yang dihadiri oleh seluruh Mandar yang wilayahnya bekas seluruh Kerajaan di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Bagbana Binanga, ditambah bekas kerajaan di Tiparittiqna Ukai yakni bekas kerajaan Alu, Taramanuq dan Tuqbi, karena menurut fakta sejarah, disinyalir, penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi di seluruh wilayah Mandar, dimulai dalam Allamungang Batu di Lujo atau lebih lazim dikenal dengan istilah Sipamandaq di Lujo.
Menurut Penulis, lepas dari boleh atau tidak, layak atau tidak layak, namun apapun yang diputuskan dalam pertemuan seluruh Mandar tersebut, selalu absah dan sah untuk dilakukan di dalam wilayah Mandar. 

II. PEMBAHASAN

A. Keberadaan Mandar
Dengan memahami logika sejarah Mandar, kita tak mampu mengingkari, bahwa Mandar tak lebih dari nama/istilah kesatuan Suku dan Budaya untuk seluruh rakyat yang mendiami wilayah Mandar. Itu sebabnya sepanjang sejarah sama sekali tidak pernah ada Kerajaan Mandar yang rajanya disebut Raja Mandar dan menguasai seluruh Mandar. Yang pernah ada di Zaman tradisional adalah raja-raja di Mandar yang jumlahnya empat belas, yakni Kerajaan Tabulahang, Kerajaan Rantebulahang, Kerajaan Aralle, Kerajaan Mambi, Kerajaan Matangnga, Kerajaan Tabang, dan Kerajaan Bambang dikelompok Pitu Ulunna Salu, Berikut Kerajaan Balanipa, Kerajaan Sendana, Kerajaan Banggae, Kerajaan Pamboang, Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju, dan Kerajaan Benuang dikelompok Pitu Babaqna Binanga, yang masing-masing berkuasa/berdaulat penuh di dalam kerajaannya dan mempunyai derajat yang sama di antara kerajaan-kerajaan tersebut.

B. Letak Geografis Mandar
Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.

C. Luas Wilayah Mandar
Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :
1. Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622.40 Km2
2. Luas Kabupaten Majene : 1.932.00 Km2
3. Luas Kabupaten Polewali Mamasa : 9.985.00 Km2
Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri : 9.985.00 Km2
Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang : Km2

D. Batas-Batas Wilayah Mandar :
Semula dari saman dahulu kala, minimum di zaman Penjanjian atau Allamungang Batu di Lujo, batas-batas wilayah Mandar adalah :
- Sebelah Utara dengan Lalombi, wilayah Sulawesi Tengah
- Sebelah Timur dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja
- Sebelah Selatan dengan Binanga Karaeng, Kabupaten Pinrang
- Sebelah Barat dengan Selat Makassar
Kini batas Mandar di Utara berubah jadi Suremana, yang berarti kita kehilangan wilayah lebih sepuluh kilometer, dan juga kehilangan lebih sepuluh kilometer di Selatan, karena batas wilayah Mandar di Selatan sekarang sudah bukan Binanga Karaeng, tapi Paku.

E. Mandar Dalam Beberapa Perjanjian Internal Mandar :
    Sebelum Mandar secara resmi memakai istilah Mandar, leluhur Mandar tampil dengan dua predikat yang baku dan umum disepakati oleh leluhur di Mandar, yakni dua predikat kelompok yaitu kelompok kerajaan di daerah pegunungan yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan kelompok kerajaan yang terletak di muara sungai, yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Baqbana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai), mereka leluhur Mandar menggunakan istilah “Hulu” dan “Muara” sungai, perlambang jalinan persatuan antara dua kelompok itu teramat erat yang tidak mungkin bisa dipisahkan, laksana satu sungai yang hanya bisa dipilih antara Hulu dengan Muara. Antara lain perjanjianyang bertujuan kesepakatan bulat demi untuk hidup bersatu, seiya sekata, senasib dan sepenanggungan antara dua kelompok, ialah :

1. Perjanjian Rantebulahang :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Kerajaan Rantebulahang mewakili Pitu Ulunna Salu dan Kerajaan Balanipa mewakili Pitu Baqbana Binganga. Tujuannya untuk memperkecil perbedaan pendapat, guna menjalin persatuan dan kesatuan.

2. Perjanjian Malundaq :
           Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah Lalilakang Tallu di Malundaq dan Lante Samballa di Taang.

3. Passullurang Basi di Lakahang :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babaqna Binanga. Tujuannya ialah masalah orang Passokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palilinq Massedan menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menhadap ke Pitu Babaqna Binanga.

4.Perjanjian Sungkiq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, kakaruanna Tiparittiqna uhai dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya menjadikan daerah paliliq massedan menjadi kakaruanna Tiparittiqna Uhai, sehingga waktu itu terjadi istilah Pitu Ulunna Salu, Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.

5.Perjanjian Dama-damaq :
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, daerah paliliq Massedan dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya pembebasan daerah paliliq Massedan untuk memakai hukumannya sendiri didalam daerahnya.

6. Allamungang Batu di Luyo (Sipamandaq di Lujo) :
Transliterasi :
a. Taqlemi manurunna peneneang uppasambulobulo anaq, appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, nasaqbi Dewata Diaya dewata diang, Dewata dikanang Dewata dikairi, Dewata diolo Dewata diboeq, menjarimi passemandarang.
b.Tannisapaq tanniatonang, maq allonang mesa mallatte samballa, siluang sambusambu sirondong langiqlangiq, tassipande peogdong tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq tassialuppei diapiangang.
c. Sipatuppu diadaq sipalete dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq Mate di Muane adaqna Pitu Baqbana Binanga.
d. Saputangang di Pitu Ulunna Salu, Simbolong di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa, Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang.
f. Sisaraqpai mato malotong anna mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
g. Moaq diang tomangipi mangidang mambattangang tommutomuane, namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, sirumungngii anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi sau di uwai temmembaliq.

Terjemahan :
a. Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga, diatas kesaksian Dewata (Tuhan) diatas Dewata dibawah, Dewata di kanan Dewata di kiri, Dewata dimuka Dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.
b. Tak berpetak tak berpembatas, bersatu bantal bertikar selembar, sepembalut tubuh selangit-langit, saling tidak memberi makanan yang menyebabkan bisa tertulang, saling tidak memberi minuman yang memabukkan atau beracun, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.
c. Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum mati disuami adatnya Pitu Baqbana Binanga (Kerajaan Balanipa).
d. Destar (ikat kepala) di Pitu Ulunna Salu, Sanggul di Pitu Baqbana Binanga.
e. Pitu Ulunna Salu menjaga Ular (musuh dari darat), Pitu Baqbana Binanga menjaga Hiu (musuh dari laut).
f. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih, baru juga bisa berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga.
g. Barang siapa yang mimpi mengidamkan seorang anak laki-laki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan ubang bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkanlah ke air yang tidak mungkin kembali lagi.
Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII/XIX masehi antara leluhur Mandar yang mendiami daerah Pitu Ulunna Salu dan daerah Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya kesepakatan bulat untuk secara resmi menggunakan Mandar sebagai nama kesatuan suku dan budaya dan kesepakatan mengakui bahwa Mandar adalah wilayah yang tercakup di daerah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Mulai saat itu leluhur orang Mandar mengakui penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi sebagai nama kesatuan suku dan budaya seluruh rakyat yang mendiami wilayah tertentu yang diberi nama Mandar.
Maka berdasarkan Sipamandaq di Lujo ini, lahirlah :
- Mandar yang mempunyai wilayah tertentu dengan letak geografis dan batas-batas  tertentu.
- Mandar yang mempunyai rakyat tertentu yang di sebut suku Mandar.
- Mandar sebagai satu diantara empat etnis di Sulawesi Selatan.
- Mandar dengan budaya spesifik yang dikenal dengan budaya Mandar.
Dengan demikian, maka Mandar tidak bisa dijadikan nama salah satu kabupaten di Mandar, karena akan bertentangan dengan syarat-syarat yang dimiliki oleh Mandar, baik Mandar sebagai nama kesatuan suku budaya, maupun syarat-syarat lain seperti letak geografis, luas wilayah dan rakyat yang masuk criteria rakyat Mandar.
Kwalitas kemandaran diantara empat belas kerajaan yang ada di Mandar semua sama, yang olehnya tidak ada satu kerajaan yang bisa mengklaim nama Mandar untuk dipakai sendiri, karena Mandar adalah milik bersama empat belas bekas kerajaan di Mandar.
Kecuali apabila diadakan lagi pertemuan seluruh Mandar dan di bicarakan bersama lalu dicapai kesepakatan untuk mengisinkan salah satu bekas kerajaan di Mandar untuk memakainya, penulis rasa ini tidak ada masalah.

7. Usulan nama Alternatif :
Suatu ketika pernah penulis dipanggil alm. Haji Abdul Malik Pettana Iyendeng ke rumah beliau di Tinambung semasa beliau masih hidup, untuk berbincang mengenai pemekaran Daerah Kabupaten di seluruh Mandar menjelang lahiranya Sulbar, waktu itu penulis mengusulkan pemekaran Kabupaten Polmas menjadi tiga Kabupaten yakni :
-Kabupaten Pitu Ulunna Salu (PUS)
-Kabupaten BalBen (Balanipa Benuang)
-Kota Madiya Mandar dengan Ibu kota Tinambung, meliputi Kecamatan Campalagian dan Kecamatan Tinambung.
Dengan usul Penulis seperti diatas, penulis sangat terkejut karena selama penulis hidup sama-sama dengan beliau, baru kali itu Penulia lihat spontan beliau marah pada penulis katanya : Kau mau merusak Mandar sebagai kebanggaan satu-satunya bagi rakyat Mandar ?. mandar tidak bisa dipermak lagi, karena kapan hilang salah satu syaratnya ia tidak akan menjadi Mandar lagi, Penulis beralasan ; demi mengabadikan nama Mandar, lalu spontan beliau jawab masih dalam keadaan kelihatan marah, “Apa kamu tidak anggap Mandar cukup abadi dengan nama Suku dan Budaya Mandar ? Di Sulawesi Selatan bahkan diseluruh nusantara sangat dikenal Budaya Mandar dan Suku Mandar, apa lagi yang kau mau ? Penulis Cuma tertunduk diam saat itu. Beliau Cuma menginginkan nama “Kabupaten Balanipa, atau digabungdengan Benuang menjadi Kabupaten BalBen. Penulis menawarkan ; Kabupaten Balben (Kabupaten Balanipa Benuang), atau Kabupaten Tamajarra, atau Kabupaten Balanipa saja seperti yang beliau alm. Haji. Abdul Malik kehendaki (Lihat Foto copy rencana pemekaran beliau terlampir).

III. PENUTUP
A. Kesimpulan :
1. Mandar adalah nama kesatuan Suku dan Budaya, bukan nama suatu kerajaan, atau lain-lainnya
2. Mandar adalah nama Suku dan Budaya orang-orang yang mendiami wilayah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga.
3. Mandar sudah ada jejak berabad-abad lalu, tapi dimulai pemakaiannya secara resmi sebagai simbol persatuan bagi seluruh rumpun Mandar,sejak Allamungang batu di Lujo.
4. Mandar adalah milik bersama secara berimbang tanpa perbedaan derajat di anatara empat belas bekas kerajaan di Mandar yang mendiami wilayah Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga dengan luas dan batas-batas tertentu.
5. Karena Mandar adalah milik bersama empat belas Kerajaan di Mandar, maka tidak ada satupun bekas kerajaan di Mandar yang bisa memakai sendiri istilah Mandar, tanpa persetujuan empat belas bekas kerajaan Mandar.

B. Saran-Saran :
1. Supaya seluruh orang Mandar berteguh dan konsekuen menjadikan Mandar sebagai lambang Persatuan murni di seluruh etnis Mandar.
2. Untuk lebih mempertebal rasa kemandaran, supaya Budaya Mandar digali, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan dan diwariskan kepada generasi Mandar di seluruh wilayah Mandar.
3. Supaya seluruh Suku Mandar yang mengaku Berbudaya Mandar, sama-sama memelihara keutuhan Mandar sebagai lambang persatuan dan kesatuan di seluruh Mandar.
4. Supaya amanah Allumungang Batu di Lujo sebagai kearifan dan Amanah leluhur Mandar, kita terima sebagai warisan leluhur Mandar yang paling berharga untuk sama-sama dipegang teguh untuk memelihara keutuhan Mandar.
5. Diusulkan nama Kabupaten BalBen (Balanipa-Benuang) untuk jadi pengganti nama Polewali-Mamasa. 

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar)

Todilaling (Sejarah Kerajaan Balanipa)

Awal mula berdirinya Kerajaan Balanipa Mandar bermula dari persekutuan ” Appe Banua Kaiyang “ (Empat Rumah Besar) yaitu : Napo, Samasundu, Mosso dan Todang Todang Keempat Banua Kaiyang tersebut sepakat mendirikan Kerajaan Balanipa di Mandar.Dengan mengangkat Imanyambungi, putra Tomakaka napo sebagai raja pertama.Di bawah pemerintahan Imanyambungi, kerajaan Balanipa Mandar berkembang menjadi besar dan mempelopori persekutuan Kerajaan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang wilayahnya meliputi daerah Paku sampai Suremana (Wilayah Sulawesi Barat) . Pada masa mudahnya Imanyambungi pernah menjabat sebagai salah seorang panglima Perang (Tobarani) Kerajaan Gowa di zaman pemerintahan Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu terjadi pertentangan di wilayah negerinya, lalu ia dipanggil untuk membantu menyelesaikan persoalan internal tersebut. Keberhasilannya menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan pertama di kerjaan Balanipa yang dibentuk dari pesekutuan Empat negeri besar (Appe Banua Kaiyyang) yaitu, Napo, Samasundu, Todang Todang dan Mosso, sekitar abad XV tepatnya tahun 1520 M, waktu itu agama Islam belum masuk di Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan ditetapkan di Napo sebagai Ibukota Kerajaan Balanipa suatu wilayah yang sejak lama dikenal sebagai bandar niaga. Ketika Imanyambungi mangkat, beliau digantikan oleh putranya Tomepayung. Imanyambungi dimakamkan dengan ritual kerajaan. 40 orang yang setia pada Imanyambungiyang teridiri dari Pattu’du (penari), dayang dayang serta para pengawalnya ikut serta kedalam liang lahat sampai wafat bersamanya. Seluruh persiapan makanan dan peralatan ritual dibawah serta kedalam liang lahat tersebut. Ritual inilah yang menjadikan Imanyambungi memperoleh gelar dengan sebutan TODILALING (orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya). Gelar ini lebih populer dikalangan orang Mandar dibandingkan nama Imanyambungi sendiri. Makam Todilaling sampai sekarang dapat disaksikan diatas bukit Napo dibawah kerindahan pohon beringin yang menaunginya.

Monday, May 14, 2012

Siri' dan Pengaruhnya Dalam Masyarakat (Mandar)

Siri' dan Pengaruhnya Dalam Masyarakat (Mandar)
Siri' dan Pengaruhnya Dalam Masyarakat (Mandar)
A. Pengertian Siri’
Istilah (terminologi) siri’ dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural.

1. Makna Menurut Bahasa
Secara harfiah kata siri’ sistem adat di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu malu dan harga diri. Seorang pemalu dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari. Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.
Salah seorang pakar hukum adat Belanda BF. Matthes mengemukakan makna siri’ , sebagai berikut : 
1. Beschanmmd, 2. Schoomvalling, 3. Verlegen, 4. Schaamte, 5. Eergevel, dan 6. Schande.
Dalam pada itu pula laside (seorang budayawan) sebagaimana yang dikutip Laica dalam bukunya menerangkan bahwa siri’ dapat pula dikonotasikan sebagai sikap segan serta takut. Diberinya contoh ungkapan sebagai berikut :
a. Masiri’ka mewaki situdangang, nasaba engka onrotta (bahasa Bugis), artinya takut aku duduk bersama tuan, karena tuan memiliki kedudukan terpandang.
b. De’ga mumasiri’ri nabitta, nade muturusiwi penggajaranna, artinya tidakkah engkau takut kepada Nabi kita sehingga tidak mematuhi ajarannya.

2. Makna Kultural
Makna kultural kata siri’ berkaitan dengan hal yang menyangkut kahidupan budaya masyarakat suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Suku-suku yang terdapat dalam lingkungan Sulawesi Selatan lebih menghayati makna kultural kata siri’ tidak dapat dipisahkan dengan kondisi kulturalnya. Dikatakan, bagi masyarakat Bugis secara umum pengertian kultural itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena apabila ia menyebut perkataan siri’ , maka esensi siri’ adalah dirinya sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia disumuskan entri kata siri’ dengan huruf akhir (k). tampa pembubuhan glottal stop (’) menurut makna kultural, sebagai berikut : Siri’ adalah sistem nilai sosio-kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
Rumusan kultural yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut mengikuti defininisi (batasan) kata siri’ yang di tetapkan dalam Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan yang berlangsung di Makassar pada bulan Juli 1977.
Namun dalam Kamus Bahasa Indonesia penerbitan berikutnya terdapat penambahan kata masyarakat Bugis pada perumusan entri kata sirik, sehingga rumusan kata siri’ dinyatakan sebagai berikut :
Aturan sistem nilai sosio-Kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat pada masyarakat Bugis.
Penambahan kata masyarakat Bugis pada rumusan kata siri’ dapat menimbulkan kesalahpahaman, seakan-akan konsep budaya siri’ hanya terdapat di kalangan masyarakat Bugis. Siri’, selain terdapat pada masyarakat Bugis dan Makassar juga dikenal dalam konteks masyarakat Mandar dan Toraja.
Makna kultural kata siri’ baru dapat dihayati secara komprehensif manakal diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Kata siri’ tidak dengan tegas disebutkan dalam Surek Sulleang I Lagaligo namun terdapat kata siri’ atakka dalam manuskrip sastra Bugis kenamaan tersebut, yakni nama dua jenis tanaman yang dipandang merupakan perlambang (sennureng) terhadap kata siri’. B.F. Matthes (1874) berpendapat bahwa nama tanaman yang dilambangkan sebagai bali atakka sebagai bahasa Tobakke, yang digunakan mereka sebagai “omtezinspelen op siri, zich schamen, zijn eerkwijt zijn, enz, dewijl desiri-heester en de atakka-boom inde oudegedichten doorganstegelijk vermeld worden,zooddat de siri-huster als’t ware de neven-man van de attaka is. Nama tanaman siri atau sirih mempunyai kesamaan fonem dengan kata siri’. Penulisan kedua kata dimaksud adalah sama pula , yakni :
Salahuddin menggarisbawahi penyebutan nama tanaman siri atakka itu pada bagian episode Reulokna Batara Guru dalam Surek Selleang I Lagaligo. Dituturkan bahwa Datu Patoto To Palanroe, Dewata pencipta langit, yang bernama La Patiganna Ajik Sangkure Wira menghendaki salah seorang putranya turun ke bumi (alekawa) guna memimpin apa yang diistilakan sebagai “dunia tengah” itu. Setelah dimusyawarahkan pilihan jatuh kepada putra sulungnya yang bernama La Togelangi bergelar Batara Guru. Ketika melepas anaknya. Datuk Patoto berpesan kepadanya agar apabila ia turun ke bumi maka “…tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonro rilino … muadan-keng siri’ atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek ( bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni bumi … susurkan siri’ atakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).
Menurut Salahuddin, kata alek (hutan) di sini bermakna pelindung bagi kehidupan.
Kalau kita mencari relevansi etimologi siri’ ke dalam Islam maka akan ditemukan sebuah istilah seperti haya’ dan ghirah (malu dan harga diri). Dua sifat yang tidak hanya sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim. Sehingga sering kali ditegaskan bahwa konsep siri’ dalam tradisi adat Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan mereka yang bersifat Islami.
Seperti telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya bahwa di Sulawesi Selatan telah pernah diadakan seminar masalah siri’ yakni tepatnya pada tanggal 11 sampai 13 Juli1977, diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KODAK) XVIII Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan bekerja sama Universitas Hasanuddin. Seminar diadakan di Makassar (Ujung Pandang) serta diikuti antara lain oleh para aparat pemerintahan, cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat dan wakil pelbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Pada seminar nasional ini, telah dibicarakan dan dibahas bersama konsep siri’ dari sudut pandang pelbagai buday suku bangsa di Sulawesi Selatan serta perkaitannya terhadap pembangunan nasional, dengan menampilkan sejumlah makalah berkenaan dengan siri’.
Seminar ini pula meletakkan batasan umum bagi pengertian siri’ sebagai berikut :
a. Siri’ dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan harga diri kesusilaan dan hkum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran dan perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan.
b. Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih peran (bertransmisi), beralih bentuk (bertransformasi), dan dapat ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya falsafah bangsa Indonesia, Pancasila.
c. Siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkrit di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.


B. Pandangan Masyarakat Terhadap Siri’
Terdapat pandangan yang memandang siri’ sebagai pancangan nilai dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan Bagi pakar budaya misalnya A. Rahman Rahim yang mengemukakan bahwa siri’ adalah sala satu nilai utama kebudayaan masyarakat. Beliau juga kemudian mengklarifikasi nilai itu kedalam dua golongan besar yaitu nilai primer yang dibahasakan sebagai nilai utama dan nilai sekunder yang diasumsikan sebagai nilai yang tidak utama. Rahman Rahim mengacu pada pendapat SH. Alatas yang menyatakan bahwa nilai yang tidak berubah adalah nilai yang mengandung kemutlakan, yakni sifat tertentu yang harus melekat pada nilai utama. Kata mutlak di sini yang melekat pada pengertian nilai utama ditandainya dengan hal berlakunya suatu kebenaran yang tidak di batasi oleh faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi sesuatu sifat yang dianggap benar atau baik menurut waktu dan tempat. Nilai yang tidak utama bersifat nisbi (relatif) yang dibatasi oleh waktu dan tempat.
A. Rahman Rahim selanjutnya mengemukakan enam nilai utama kebudayaan masyarakat sulawesi selatan yakni apa yang dalam tradisi masyarakat bugis dikenal dengan lempu’ (kejujuran), ammacang atau acca (kecendekiawanan), asitenajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (keuletan) serta siri. Dikatakan bahwa masalah siri’ selalu menerik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan khas sulawesi Selatan karena konsep siri’ selalu dihayati oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ade’ serta sistim Pengadereng. Seseorang yang tidak memeliki siri’ adalah lepas dari konteks moralitas ade’ serta kesepakatan adat. Orang yang telanjang dari perasaan malu atau siri’ akan memberikan ruang gerak yang luas bagi lahirnya tindakan-tindakan anarkis dan tidak bertanggung jawab dalam hal ini di dala lontara orang ini dapat disejajarkan dengan binatang. Konsep ini tentunya seirama dengan Islam tentang kesetaraan manusia dengan binatang ketika mereka bertindak melampaui batas.
CH. Salam Basjah dan Sdappernas Mustaring sebagaimana yang dikutip Mattulada dalam Latoa Memberikan tiga penggolongan terhadap siri’ yaitu :
a. Siri’ itu sama artinya dengan malu, isin (jawa), shame (inggris);
b. Siri’ merupakn daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau apa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan.
c. Siri’ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan ke arah pembangkit tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa siri’ merupakan pembalasan yang berimplikasi kewajiban moril untuk membunuh pihak pelanggar adat. Demikian pula M.Natsir Said, menempatkan batasan bahwa siri’ itu adalah perasaan malu (kreking/beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilangggar norma adatnya.
Dapat ditarik sebuah benang merah bahwa untuk mendekati batasan siri’ itu tidak mungkin orang hanya memandang satu aspeknya saja atau hanya memperhatikan perwujudannya saja. Hal ini mudah dimengerti karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat kongkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang bugis yang cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan balas dendam dengan pembunuhan. Hal ini memang banyak terjadi terutama dalam hal perjodohan , yaitu salah satu pranata sosial atau salah satu aspek dalam pangngadereng yang masih dapat bertahan, dibanding dengan unsur-unsur lainnya walaupun sekarang dari hari ke hari telah mengalami banyak perubahan. Namun demikian siri’ masih mempunyai arti yang esensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa orang Sulawesi Selatan pada umumnya ia masih merupakan sesuatu yang melekat kepada martabat kehadirannya sebagai suatu pribadi dan sebagai warga dari suatu persekutuan. Masyarakat Sulawesi Selatan menghayati siri’ itu sebagai suatu panggilan yang dalam dari diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya mempunyai arti esensial baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
Berbagai ungkapan dalam bahasa khas Bugis (Sulawesi Selatan) yang mengambil wujud dalam kesusastraan, pesan amanah-amanah dari leluhurnya yang dapat dijadikan petunjuk tentang siri’ itu pada masyarakat Sulawsi Selatan.
a. Siri’e mi ri onroang ri lino. Artinya hanya siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri’ sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup ada artinya.
b. Mate ri siri’ na. Artinya mati dalam siri’ yakni mati demi menegakkan martabat atau harga diri. Mati yang demikian dianggap sebagai suatu hal yang terpuji dan terhormat.
c. Mate siri’. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri’ akan melakukan jallo’ (amuk), hingga ia mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napattatongi siri’na artinya ditegakkan kembali harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh dengan jallo’ dengan latar belakang siri’. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam kategori tersebut yang merasakan siri’ yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah permpuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.
Masalah siri’ seperti banyak dipahami masyarakat mempunyai banyak segi-segi, sehingga ada kalanya ia di beri isi dan tanggapan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang sangat emosional seperti di tafsirkan oleh banyak orang yang menyamakannya dengan perasaan malu dan kebanyakan lagi di identikkan dengan masalah pelanggaran adat perkawinan misalnya kawin lari atau semacamnya. Hakekat siri’ hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari pangngedereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai pangngedereng yang amat dijunjung tinggi masyarakat Sulawesi Selatan yang dapat membawa kepada peristiwa siri’ yang tersimpul pada hal-hal tersebut dibawah ini :
a. Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut kepercayaan (keagamaan)
b. Sangat setia memegang amanah (paseng) atau janji (ulu-ade’) yang telah di buatnya
c. Sangat setia kepada Persahabatan
d. Sangat mudah melibatkan diri pada persoalan orang lain (memiliki kepedulian sosial terhadap sesame.
e. Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (wari).
Lima elemen tersebut disaring dari lima aspek pangngedereng yaitu ade’, bicara rapang, wari” dan sara’. Itulah yang paling banyak menimbulkan ekses-ekses berupa pembunuhan, jallo’, pemberontakan, pembangkangan dan meninggalkan negerinya dengan dimotori oleh semangat siri’.
Jadi adalah lumrah apabila jallo’, pembunuhan, pemberontakan, atau sejenisnya yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, itu hendaknya diperiksa motifnya pada konsep siri’ yang mereka anut. Apabila motif peristiwa dilatarbelakangi oleh siri’ maka pemulihannya dapat dirintis melalui nilai-nilai pangnhedereng juga.
Latoa berkata :
“ ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan yaitu ; pertama, kasih saying dalam keluarga, kedua, saling memaafkan secara kekal, ketiga, tidak segan memberi pertolongan dan pengorbanan demi keluhuran, keempat, mengingatkan untuk berbuat kebajikan”.
Pada kesempatan lain ahli-ahli lontara berkata :
“ bukankah yang demikian berarti bahwa ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran dan wari’ ada buat mengingatkan kepada perbuatan kebajikan”.
Dengan demikian tujuan hidup menurut pangngadereng tidak lain adalah untuk melaksanakan fitrah manusia guna mencapai martabatnya yakni siri’. Bila pangngadereng dengan segala aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri’ dan hidup tidak lagi artinya menurut orang Bugis. Jadi jawaban yang paling kena terhadap pertanyaan mengapa orang Bugis taat kepada pangngadereng ialah karena siri’.

C. Pengaruh Siri’ dalam Masyarakat
Sejak ledakan reformasi menjadi fenomena dominan bangsa ini, tiba-tiba saja wacana-wacana klasik kembali menyeruak ke permukaan dan mengambil tempat cukup urgent untuk dijadikan objek kajian. Wacana-wacana klasik tersebut tidak lain adalah konsep siri’ itu sendiri beserta unsur-unsur yang menyertainya. Betapa tidak, hal ini jelas menjadi dominan dibicarakan mengingat sekian banyak kasus siri’ (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang melibatkan tidak sedikit orang Bugis (Sulawesi Selatan) yang secara kultural sangat peka terhadap Persoalan-persoalan yang menyinggung harga diri dan membangkitkan perasaan primordial untuk tidak menyebut arogansi siri’ kedaerahan yang telah lama subur dan berakar di Sulawesi Selatan.
Dalam konteks makro Indonesia di luar Sulawesi Selatan sesungguhnya terdapat konsep yang sama menyangkut siri’ yang banyak dianut oleh suku-suku tertentu, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Widodo Widodarmo bahwa “… siri’ yang identik dengan perasaan malu terdapat juga pada suku jawa dengan istilah Wirang, pantang untuk orang, jenga untuk orang Bali dan sebagainya.
Konsep yang dikenal oleh mayoritas suku jawa yang meliputi kurang lebih 60 juta jiwa, menyimpan pula esensi nilai-nilai malu serta harga diri (martabat). Kata wirang atau awirang berarti malu melakukan. konsep ini juga ditemukan dalam karya proses jawa klasik, misalnya dapat dibaca dalam kitab Adipurwa, bagian pertama Wiracarita Mahabarata, yang ditulis pada Zaman Dharmawangsa di kala abad X, atau awal abad XI.
Istilah wirang dapat pula dibaca dalam karya proses jawa klasik lainnya, misalnya dalam Serat Sritanjung, kitab Calon Arang serta Babad Tanah Jawi.
Jika ditelaah secara mendalam pengaruh yang paling dominan mewarnai masyarakat yang menganut paham siri’ seperti di daerah yang disebut terkhusus dalam wilayah Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja) dapat dirinci sebagaimana berikut:
1. Meningkatkan tingkat kedisiplinan. Disiplin adalah harkat, martabat dan harga diri. Dia merupakan refleksi dari ketinggian siri’. Menegakkan disiplin baik terhadap orang lain maupun terhadap diri dan keluarga, sesuai dengan fungsi dan peranan yang harus diemban sama dengan menjaga harkat, martabat dan harga diri. Berarti kita telah menunjukkan diri sebagai seorang yang mempunyai siri’. Siri’ pada dasarnya tolok ukur tentang harkat dan martabat. Tolok ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan. Seorang yang mestinya bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya berarti siri’ orang tersebut telah memudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan diinjak-injak di luar batas-batas hukum dan etika ini berarti siri’ yang bersangkutan telah menurun (berkurang).
2. Siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin Appeq Banua Kaiyang sebagai wakil rakyat, untuk secara tegas menentang keputusan Daeng Mallariq. Siri’ itu pulalah yang menyebabkan Appeq. Banua Kaiyang memecat Daeng Riosok, siri’ itu pulalah yang menyebabkan semua raja Mandar mendukung Pammarica untuk menolak permintaan Gubernur Belanda. Hal ini pulalah yang mendorong Puang Cadia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Kauseng, anak kandungnya menjalani hukuman mati. Apabila fungsionaris kerajaan itu tidak berani menjalankan peraturan yang berlaku karena takut pada raja, atau karena melindungi karena memihak pada keluarga sendiri, berarti mereka itu bukanlah orang yang bermartabat dan berharkat tinggi. Berarti harga diri telah memudar, berarti siri’nya telah mengalami erosi. Dengan demikian ia tidak patut lagi menduduki fungsi dan jabatannya itu, karena jabatan tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermartabat dan berharkat tinggi.
Kearifan budaya Mandar yang berkaitan dengan ihwal disiplin di atas merupakan indikasi besarnya potensi budaya yang masih terpendam di berbagai daerah. Budaya tersebut memiliki kemampuan untuk menyodorkan tawaran-tawaran peranan, baik dalam ikut memecahkan issu pembangunan dewasa ini, maupun dalam merumuskan visi kebijaksanaan di masa datang yang dapat mewujudkan disiplin nasional.
Mewujudkan disiplin nasional, sasarannya tentu saja bukan sekedar menimpa ketaatan dan kepatuhan berdasarkan proses conditioning yang bersifat paksaan. Baik paksaan karena kekuatan maupun paksaan karena hukum. Akan tetapi sasaran yang paling ideal adalah menjadikan disiplin menjadi mental blue print. sehingga pola tingkah laku yang berstandarisasi, sehingga disiplin telah menjelma sebagai suatu unsur budaya yang hidup dan berfungsi, baik dalam wujud fungsi manifest maupun fungsi latent.
Studi kasus tentang segi budaya kearifan di kerajaan Balanipa-Mandar seperti dipaparkan pada bab terdahulu, memberikan gambaran adanya budaya disiplin dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintah Balanipa. Budaya disiplin ini mampu mewujudkan fungsi manifestnya dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan dan pengaturan. Kemampuan mewujudkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan penegak hukum. Karena disiplin telah menjadi rambu-rambu dalam memandu bangsa dan negara. Dapat menimbulkan dampak psikologis terhadap setiap anggota masyarakat yang berupa tumbuh rasa berdosa (disiplin religious), rasa malu (disiplin sosial), gelisah dan tidak tentram karena menganggap bahwa awal disiplin berkaitan dengan harga diri, harkat dan martabat (disiplin affeltif).
Kearifan budaya Mandar memberi isyarat bahwa metode dan cara yang ideal, ialah metode sosialisasi melalui proses belajar simbolik. Hal ini sejalan dengan pendapat Loving Hallowel yang menjelaskan, “Transmisi Kebudayaan dilihat secara kenyataan, tidak boleh dipandang sebagai kemampuan yang diproleh melalui proses conditioning seperti sering kali ditemukan dalam deskripsi etnografi, melainkan sebagai dari proses belajar simbolik.
Proses perwujudan disiplin dalam kehidupan Balanipa Mandar, nampaknya diramu dalam beberapa langkah sebagai berikut :
a. Pemantapan pola peranan-peranan dalam bentuk pengaturan formasi lembaga kekuasaan yang efektif, seimbang, serasi dan saling berinteraksi perwujudannya adalah adanya Lembaga Kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang berwibawa, dan adanya lembaga pengawasan yang mampu mengendalikan jalannya pelaksanaan kekuasaan.
b. Penciptaan iklim sosial yang segar yang mampu memberikan suasana kepercayaan dan kesadaran masyarakat tentang adanya kepastian hukum.
c. Memantapkan kepercayaan kepada hukum.
d. Timbulnya keteladanan yang sangat mutlak diperlukan di era globalisasi sekarang ini.
e. Adanya sistem nilai etika dan norma yang dapat menjadi pijakan dasar tegak tumbuhnya budaya disiplin. Siri’ ternyata telah mampu menjadi akar tunggang berdirinya disiplin, seperti terlihat dalam budaya Mandar dan budaya Sulawesi Selatan pada umumnya.
3. Nilai Lokko’ sebagai Daya Saring Positif (Perisai)
Sebagaimana dimaklumi di dalam Kongres Kebudayaan Mandar tahun 1991 antara lain dibicarakan mengenai peranan daya cipta dalam pengembangan kebudayaan. Proses yang dimaksud akan terjadi interaktif berkesinambungan yang di dalamnya terdapat daya cipta yang memegang peranan penting.
Daya cipta yang penulis maksudkan telah hadir dan telah mempengaruhi kebribadian setiap anak bangsa yakni sistem budaya lokko’ itu sendiri yang secara psikoanalisis dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya siri’ memberikan dorongan secara sadar lahirnya reaksi-reaksi terhadap kekuatan tertentu yang negatif. Jadi meletakkan kondisi tertentu terhadap jiwa seseorang (pola pikir), budaya siri’ merupakan perangsang untuk bertindak positif dan hati-hati.
b. Budaya siri’ sebagai bagian dari secara keseluruhan sistem budaya global mengenai mekanisme reward and punishment, hal ini dengan sendirinya disamping sebagai “perisai” juga akan memberikan Konsekwensi logis (hukuman) terhadap kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman suatu masyarakat.
c. Budaya siri’ dapat dijadikan modal dasar memasuki proses belajar terutama dalam upaya memperkaya kepribadian.